Minggu, 24 Mei 2009

CATATAN FASILITATOR PEMBERDAYAAN


KISAH PERJALANAN MENUJU PULAU PUTRI
Oleh: Abdussalam

Pulau Raas banyak orang menyebutnya sebagai pulau putri, karena banyak janda-janda yang ditinggal mati suaminya oleh ganasnya gelombang laut saat mengarungi samudra luas untuk menghidupi keluarganya. Begitu pula banyak istri-istri muda yang harus menunggu lama berbulan-berbulan kedatangan suami yang pergi untuk mencari nafkah di tengah laut. Begitulah banyak cerita yang saya terima dari banyak kalangan masyarakat.
Cerita itu membuat saya tertarik dan penasaran, membuat susah tidur di malam hari menjelang keberangkatan ke pulau Raas. Duduk melingkar yang acapkali diselingi ketawa, minum kopi dan merokok saya dan teman-teman faskel berkesimpulan bahwa kalau memang betul cerita masyarakat, maka pulau Raas adalah sebuah surga di tengah gelombang samudra yang dahsyat. Semuanyapun berangan-angan yang indah-indah untuk tinggal lama di pulau Raas selama bertugas. Namun angan-angan itu berganti kecemasan dan kekhawatiran tatkala ombrolan kecil itu mengarah pada besarnya gelombang laut yang harus dilalui perjalanan dari Sumenep ke pulau Raas. Di tengah kekalauan itu saya mengambil peta kabupaten Sumenep untuk melihat titik-titik rawan. Kebetulan siangnya harinya saya dan teman-teman faskel menyempatkan diri untuk ke kantor BMG meminta petunjuk demi keselamatan dan kelancaran perjalanan menuju pulau Raas. Menurut keterangan BMG gelombang laut antara Sumenep dan Pulau Raas mencapai 2,5 meter dan ada dua titik yang harus di waspadai yaitu antara Dungkek dan pulau Giliyan, antara Giliyan dan pulau Sepudi, antara Sepudi dan pulau Raas. Malampun larut tanpa disadari satu persatu lenyap dalam tidurnya.
Jam 06.00 WIB bergegas bangun tidur, mandi dan besiap-bersiap keberangkatan ke pulau Raas. Jam 07.00 bersama rombongan BAPPEDA menuju pelabuhan Dungkek. Tidak seperti pelabuhan-pelabuhan yang saya bayangkan, pelabuhan dungkek sangat tradisional semua yang bersandar adalah perahu-perahu rakyat tradisional yang serba manual. Saya membayangkan betapa menakutkan perjalanan ini, laut yang luas, tekanan ombaknya yang tergolong besar bahkan menurut BMG perjalan ke Raas melawati jalur-jalur berbahaya karena tekanan dua samudra yang membuat pusaran berbahaya ditengah laut, sementara dilaluinya hanya dengan perahu tradisional dan apa adanya. Masyarakat yang lalulalang dan sibuk menaikkan barangnya keatas perahu tampak ceria seakan-akan tidak pernah ada apa-apa mungkin mereka sudah biasa, tidak seperti rombongan P2KP yang tampak gelisah mungkin karena tidak biasa.
Menurut salah satu pemilik toko peracagan di sekitarnya, pelabuhan Dungkek merupakan lalulintas masyarakat antara Sumenep pulau Raas, pulau Gilian, pulau Sapudi. Kebutuhan sehari-hari masyarakat Raas, Sapudi dan gilian seperti sembako diangkut dari pelabuhan ini oleh para pedagang. Sehingga pelabuhan Dungkek menjadi pusat lalu lintas laut antara Sumenep, Raas, sapudi dan Gilian. Memang saya melihat lalulang masyarakat dan kendaraan yang mengangkut barang-barang dagangan jumlahnya sangat besar dan tidak imbang dengan kondisi pelabuhan dan perahu yang ditumpangi sangat tradisional. Saya sempat bertanya kesalah satu personel BAPPEDA Kabupaten Sumenep yang ikut serta dalam perjalanan ini untuk menghadiri Lokakarya Kecamatan, apakah ada upaya pemerintah Kabupaten Sumenep untuk membangun pelabuhan Dungkek dan menyediakan kapal yang lebih representatif. Beliau menjawab upaya itu sebenarnya ada mengingat semakin tingginya kebutuhan akan hal itu, namun kendala pemerintah daerah adalah anggaran. Pembicaraan itu terputus karena pemilik perahu tujuan Raas memanggil untuk segera naik dan akan segera berangkat ketempat tujuan.
Jam 10.30 Rombongan (Bappeda, Tim Faskel, Korkot, Asisten Korkot) berangkat meninggalkan pelabuhan Dungkek menuju pulau Raas. Setelah satu setengah jam di laut belum ada tanda-tanda datangya gelombang kebetulan cuaca sangat baik sehingga perjalanan lancar sayapun lega, tampak wajah rombongan berbunga-bunga dan rasa takut hilang berganti keceriaan. Sang nahkodapun memastikan bahwa perjalanan ini bagus kalaupun ada gelombang, itu sangat kecil tidak seperti biasanya.
Di tengah ayunan gelombang kecil sekedar melepaskan kejenuhan saya memperkenalkan diri dan ngobrol dengan salah satu penumpang lain bernama Usman yang kebetulan ada disampingku, sementara teman-teman yang lain asik main domino. Usman asli Raas yang berasal dari desa Brakas kecamatan Raas. Sebagai pedagang peracangan Usman sudah terbiasa mengarungi luas samudra antara Sumunep Raas karena setiap minggu harus kulaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari. Banyak cerita duka yang dialami Usman, tapi bagi Usman hal itu tidak pernah menjadi beban karena sudah menjadi bagian hidupnya, baginya lebih baik mati daripada hidup kelaparan yang disampaikan dengan bahasa madura ” ’awak mateah nom’tembhang lapar”. Sesekali diselingi guyonan kecil saya bertanya ”Pak Usman Napah bender e Raas ka’dintoh bannyak janda ban reng binek se edhinggalagih lakenah ( apa betul di Raas banyak janda dan istri yang ditinggal lama suaminya), OO...bendher nom (betul). Dalam ceritanya Usman membenarkan dan memperkuat anggapan umum masyarakat bahwa pulau Raas adalah pulau Putri. Laut adalah satu-satunya lahan untuk mecari nafkah masyarakat Raas. Sebesar apapun arus ombak, orang Raas harus siap menghadapinya untuk menghidupi keluarganya. Berbulan-bulan di tengah laut dan tidur di atas gelombang adalah bagian dari kehidupannya. Sehingga keluarga mereka yang ditinggalkan harus rela pula demi melangsungkan hidupnya.
Tanpa terasa jam 16.30 WIB perahu merapat di pelabuhan Brakas Raas. Rombongan dijemput dengan panther mobil dinas kecamatan Raas satu-satunya mobil yang ada di pulau Raas. Sesampainya di desa Brakas rombongan disambut oleh beberapa kepala desa dan langsung dibawa ke rumah kepala desa Alasmalang untuk makan dan sholat Ashar.
Senin, 31 Januari jam 09.30 lokakarya kecamatan dilaksanakan. Pak Camat dalam sambutannya menjelaskan bahwa kemiskinan di pulau Raas bukan karena malas, namun banyak disebabkan oleh akses informasi dan transformasi. Orang Raas tidak kenal putus asa dalam mencari penghidupan, ombak besar sekalipun siap mengarunginya. Orang Raas lebih takut lapar daripada takut mati. P2KP secercah harapan bagi kami untuk memberikan solusi bagaimana masyarakat Raas bersikap. Lokakarya kecamatan berakhir jam 15.00 WIB kemudian dilanjutkan dengan jalan-jalan untuk mengamati langsung kondisi masyarakat Raas.
Saya melihat bahwa penduduk Raas lebih banyak wanitanya daripada laki-lakinya banyak rumah-rumah yang isinya hanya kaum perempuan. Kemudian saya menyempatkan diri masuk ke salah satu rumah di desa Alasmalang. Dalam rumah tersebut tinggal hanya seorang ibu dan ketiga anaknya. Saya mencoba bertanya ”Bapak dek kimmah buk? (Bapak kemana buk)., bapak entar ka tasek nyareh pesse (bapak ke laut cari uang), bileh deteng? (kapan datang), biasanah samenggu pak, manabi jeu dubulan tapeh sateah amit paleng abit samenggu (biasanya seminggu baru datang tapi kalau jauh bisa dua bulan, bapak kemarin pamitnya satu minggu). Rumah tangga ini salah satu gambaran masyarakat raas yang rela meninggalkan keuarganya demi keluarganya.
Selasa, 01 Februari setelah makan pagi di rumah kepala desa Karopoh saya dan rombongan menuju pelabuhan Karopoh untuk pulang ke Sumenep. Perjalanan pulang tinggal lima orang yang sebelumnya sepuluh orang karena lima orang tim faskel terus tinggal disana. Angin berhembus dengan kecepatan + 70 KM/jam saya agak khawatir karena tidak seperti biasanya angin begitu kencang, namun perjalanan tetap harus dilanjutkan karena Rabu, 02 Februri 2005 saya dan Korkot harus menghadiri lokakarya kecamatan Pamekasan.
Jam 09.30 perahu yang saya tumpangi perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan Karopoh dengan melintasi batu-batu karang. Setengah jam perjalanan + 7 KM dari pelabuhan Karopoh gelombang laut mulai terasa menggoyang perahu. Tidak seperti perjalanan sebelumnya dari Sumenep ke Raas cuaca bagus dan air laut tampak tenang. Kali ini cuaca buruk, angin disertai awan hitam dan petir. Arah angin ke timur sementara arah perjalan ke Sumenep arah barat, sehingga perahu berhadapan dengan angin dan gelombang laut. Dua jam kemudian posisi diantara pulau Raas dan sapudi gelombang air laut mencapai + 3 meter. Di tengah gelombang yang menggunung tiba-tiba mesin perahu mati karena bolangbaling perahu tersangkut sesuatu yang saya sendiri tidak tahu sesuatu itu. 20 menit lamanya perahu terombang ambing gelombang. Saya dan kawan-kawan yang lain hanya saling berpandangan tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Namun saya agak lega setelah mesin perahu sudah bisa hidup lagi, perjalananpun dilanjutkan. Tapi saya dan kawan-kawan kembali menunduk dan pasrah karena gelombang datang bertambah keras. Saya mencoba mendekati nahkoda dan mengajak untuk kembali kalau gelombang tambah besar. Jawabannya, kita sudah di tengah-tengah laut, maju kena mundur kena, lebih baik tenang aja semuanya akan baik-baik saja. Kemudian saya naik lagi dan mencoba untuk memenangkan diri. Setengah jam kemudian tiba-tiba perahu diserang gelombang dari kiri kanan, depan dan belakang perahu meninggi sekita 4 meter kemudian perahu miring dengan kemiringan + 80°. Gelombang semacam itu terus berlangsung sepanjang perjalanan antara pulau Raas dan Sapudi dan antara Sapudi dan Gilian dengan memakan waktu 3 jam.
Setelah di posisi Gilian dan Dungkek Sumenep, gelombang mulai agak tenang saya berkali-kali mengucapkan Alhamdulillah karena Allah tetap melindungi perjalanan kami sehingga selamat. Jam 16.30 WIB perahu merapat di pelabuhan Dungkek. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kantor Korkot jam 17.00 kami sampai di kantor Korkot dengan selamat. Alhamdulillahhh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar